Teori Semiotika dan Penerapannya
Analisis menggunakan teori semiotik puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi “Wanita
Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri
Bagaimana
unsur-unsur yang terkandung dalam puisi “Tetapi Aku” karya Amir Hamzah dan
puisi “Sajak Putih” karya Chairil Anwar Oleh Rizki Subbeh
dan aku berseru padamu
dimanakah kamu wanitaku?
Ku baca segala yang bisa ku baca
dalam berbagai bahasa runduk hamba dari tahlil ke tasbih,
dari tasbih ke tahmid, dari tahmid ke takbir,
dari takbir ke istighfar, dari istighfar ke syukur,
dari syukur ke khauf, dari khauf ke raja, dari raja ke khauf
raja khauf
khauf raja
raja khauf
khauf raja
sampai tawakkal
Tiba-tiba sebelum benar-benar fana melela dari arah Multazam
seorang wanita cantik sekali
masya Allah tabarakAllah !
Allah, apa amalku jikak kurnia
apa dosaku jika coba ?
Allah, putih kulitnya dalam putih kerudungnya
Indah sekali alisnya
Indah sekali matanya
Indah sekali hidungnya
Indah sekali bibirnya
Dalam indah wajahMu
Allahku, ku nikmati keindahan dalam keindahan
Di atas keindahan di bawah keindahan
Di kanan-kiri keindahan
Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, inilah kerapuhanku ! tak kutanyakan kenapa
Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku ?—ampunilah aku—tanyalah jua yang ku punya kini :
Allahku mukallafkah aku dalam keindahanMu ?
semoga bermanfaat dan jangan lupa tinggalkan komentarnya..
BAB
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia tak lepas dari perjalanan yang
indah, bahagia, cobaan, dan masalah. Puisi merupakan karya sastra yang bisa
menggambarkan perasaan, masalah dimasyarakat bahkan masalah pada diri sendiri, mengungkapkan
perasaan dalam hati dengan sebuah sajak yang dipilih dengan diksi-diksi yang
baik sehingga dapat terbuat karya yang baik, mempunyai nilai seni yang tinggi
merupakan sebuah karya yang baik dapat menyentuh perasaan penulis dan pembaca.
Pembacapun dapat memahami karya puisi dengan mudah dan tersentuh hatinya.
Karya sastra puisi
adalah satu dari sekian banyak karya satra yang cukup menarik untuk di
pelajari. Untuk itu perlu di ketahui mengenai struktur dan unsur pembentuk
lainnya di antaranya yakni heuristik,
hermeneutik, dan inteterkstualitas apabila terdapat hubungan interteks antara
puisi satu dengan yang lainnya. Dalam memahami sebuah puisi,pembaca puisi hendaklah mengetahui makna dari
puisi tersebut.Selain untuk mengetahui arti atau maksud dari puisi
tersebut,kita juga mendapatkan ekspresi yang sesuai untuk ditampilkan dalam
membaca puisi itu.Puisi merupakan sebuah struktur yang sulit ,maka untuk
memahaminya seseorang haruslah menganalisis puisi tersebut.
Willibrordus Surendra Broto Rendra
yang biasa dikenal dengan W.S Rendra lahir Solo, 7 November 1935 adalah penyair
ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan
Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di
Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di
berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng
Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.
Ayahnya adalah seorang guru Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai
dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton
Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya
itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah
menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar
Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta
dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak
menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun
1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia
mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti
seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah
setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai
terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan
kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai
kegiatan sekolahnya.
KH
Achmad Mustofa Bisri merupakan salah seorang budayawn dan pembuat puisi yang
ulung, banyak karya-karyanya yang telah dinikmati oleh banyak orang. Kiyai,
penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi
warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia
kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para
ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah,
ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam
Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah.
KH
Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa
mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu
mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam
pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.
Karya
sastra terutama dalam bidang puisi bukan lagi menjadi hal yang tabu bagi kedua
penyair ini, puisi merupakan jiwa bagi keduanya. Dengan puisi maka ekpresi jiwa
akan terekploitasikan. Penulis memilih dua puisi dari dua penyair di atas untuk dianalisi heuristik,
hermeneutik, dan hubungan intertekstualitasnya, yaitu puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan
puisi “Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri. Kedua puisi
tersebut mempunyai kesamaan dan keterkaitan, semuanya akan dibahas lanjut pada
bab berikutnya.
1.1 Permasalahan
Bagaimana memahami makna puisi dengan metode pembacaan heuristik, hermeneutik pada puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi “Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri dengan menggunakan teori M. Riffaterre.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan tentang “puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi
“Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri
adalah untuk memahami dan mengetahui bagaimana makna dan intertekstual yang
terdapat pada kedua puisi tersebut. Sedangkan manfaat
dari penelitian ini adalah sebagai sarana penambah ilmu pengetahuan dan
mempermudah peneliti berikutnya ingin meneliti topik yang sama.
1.3 Landasan
Teori
Pada sub bab ini
akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan analisis semiotik. Semiotik adalaah
pendekatan yang menekankan tanda-tanda pada karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo
mengatakan dalam bukunya “Pengkajian Puisi” bahwa pertama kali yang paling
penting dalam semiotik adalah sistem tanda, dalam pengertian tanda ada dua
prinsip, yaitu penanda (signifier)
atau sesuatu yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) tau sesuatu yang ditandai,
yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada
tiga jenis tanda tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah
tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat alamiah. Indeks adalah
tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang
bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Sedangkan simbol adalah tanda yang
tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungan
antaranya bersifat arbitrer atau semau-maunya (manasuka).
Makalah ini
dalam melakukan penelitian atau tahap untuk menganalisis menggunakan teori dari
Michael Riffaterre. M. Riffaterre mengungkapkan ada satu ciri penting dalam
puisi, yaitu bahwa puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara
langsung.
Puisi sebagai bentuk ketidaklangsungan ekpresi. Menurut M. Riffaterre,
dalam semiotik untuk membentuk sebuah tanda atau memaknai sebuah tanda terdapat
konvensi bahasa, sastra dan budaya. Puisi secara semiotik telah dikemukakan
merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh
konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Konvensi tambahan
adalah konvensi sastra diluar konvensi kebahasaan yaitu menggunakan
ketidaklangsungan ekspresi.
Ketidaklangsungan
Ekspresi
1.
Penggantian arti, menggunakan
peribahasa
2.
Penyimpangan arti, terdapat
ambiguitas atau memilik makna ganda, kontradisksi atau gaya bahasa yang
bertentangan, dan nonsen atau kata yang tidak memiliki arti.
3.
Penciptaan arti, terdapat
tipografi atau perwajahan puisi, enjambemen atau peloncatan baris, dan homoluques atau persejajaran kata.
Pembacaan
Heuristik dan Hermeneutik
Untuk
dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan
pembacaan heuristik dan hermeneutik. Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah
awal dalam usaha untuk mengungkap makna dan fenomena. Pembacaan heuristik
menurut Riffaterre merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna
secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat
kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca
lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya
tentang hal itu. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman
arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu
bahasa. Sedangkan Pradopo (2002:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu
pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah
berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama Pradopo (2002:137)
mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat kedua (makna konotasi).
Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan
hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara
demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi
dalam pembacaan hermeneutik. Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang
bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan.
Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau
bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu
bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke
bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi
hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5).
Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126)
dapat diringkas sebagai berikut:
1) Membaca untuk arti biasa.
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang
merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi
yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan
tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
Matriks
Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama
dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang
berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling
ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang
disebut dengan matriks. Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun
aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model.
Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari
matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu
yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata
atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda
bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara
matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak
derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam
praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk
varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
Oleh karena itu memberi makna pada puisi itu adalah mencari tanda-tanda
yang memungkinkan timbulnya makna pada puisi (Pradopo, 2002; 124). Dengan uraian di atas, maka dalam analisis
puisi terutama dicari tanda-tanda kebahasaan kemudaian setelah itu menganalisis
tanda-tanda tambahan yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.
Di konvensi-konvensi tambahan itu adalah konvensi bahas kiasan (symbolic extrapolation) yang dikemukakan
oleh M. Riffatrre (dalam Pradopo, 2002;210), yaitu merupakan konvensi tambahan
puisi bahwa puisi itu menyatakan pengetian-pengertian atau hal-hal secara tidak
langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dean berarti yang lain. Dengan demikian
itu, bahas puisi memberikan makna lain dari pada bahasa biasa.
Puisi sebagai bentuk ketidaklangsungan ekpresi Menurut M. Riffaterre,
dalam semiotik untuk membentuk sebuah tanda atau memaknai sebuah tanda terdapat
konvensi bahasa, sastra dan budaya. Puisi secara semiotik telah dikemukakan
merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh
konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Konvensi tambahan
adalah konvensi sastra diluar konvensi kebahasaan yaitu menggunakan
ketidaklangsungan ekspresi.
Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk
dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan
pembacaan heuristik dan hermeneutik. Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah
awal dalam usaha untuk mengungkap makna dan fenomena. Pembacaan heuristik
menurut Riffaterre merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna
secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat
kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca
lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya
tentang hal itu. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman
arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu
bahasa. Sedangkan Pradopo (2002:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu
pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah
berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama Pradopo (2002:137) mengartikan
pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat kedua (makna konotasi).
Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan
hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian,
pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam
pembacaan hermeneutik. Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat
struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh
karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan
yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak
secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang
lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram
potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5). Proses
pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat
diringkas sebagai berikut:
1) Membaca untuk arti biasa.
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang
merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi
yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan
tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
1.4 Metode
Penelitian
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan teori M.Riffaterre. Penelitian akan berhasil jika menggunakan metode yang
tepat dan sesuai. Semi (1990:9) membagi dua jenis penelitian ditinjau dari
metode kerja, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif
menggunakan pengukuran dan analisis yang dikuantitatifkan dengan menggunakan
analisis statistik dan model matematik; sedangkan penelitian kualitatif yang
diutamakan bukan kuantifikasi berdasarkan angka-angka, tetapi yang diutamakan
adalah kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji
secara empiris.
Pedekatan yang
digunakan untuk membahas adalah analisis dengan menggunakan teori M.Riffaterre tetapi tidak secara keseluruhan teori
tersebut dipergunakan. Penulis hanya meneliti pembacaan heuristik,hermeneutik,
dan hubungan intertekstualitasnya pada kedua puisi yang akan dianalisis.
Penelitian terhadap
puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi
“Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri Navis dilakukan
dengan menggunakan beberapa langkah yaitu:
- Membaca cerpen puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi “Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri dengan sering dan berkali-kali;
- Memperoleh data dengan membaca dan memahami puisi sampai pada akhirnya dapat menemukan permasalahan;
- Mengklasifikasi data yang terkait dengan unsur-unsur kajian;
- Menemukan heuristik, hermeneutik, dan hubungan intertekstualitasnya antara puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi “Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri
- Membuat kesimpulan penelitian.
Sumber dari semua data yang terdapat dalam penelitian ini puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi
“Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa bisri.
BAB
ANALISIS
PENDEKATAN SEMIOTIK
Analisis Semiotik Puisi “Wanita-wanitaku” Karya W.S Rendra
Dalam
sajak “Wanita-wanitaku” dikemukakan oleh si penyair bahwa laki-laki yang
menjadi tokoh utama dan sebagai subjek pada puisi ini sedang meratapi kesedihan
dan kesendiriannya karena ditinggalkan oleh wanita yang dicintainya. Wanita
tersebut pergi meninggalkan dirinya seorang diri, bahkan si lelaki ini telah
berusaha keras untuk terus mencari tanpa henti tanpa kenal waktu, dan pada
akhirnya wanita ini benar-benar telah hilang hingga si lelaki menyadari bahwa
pencariannya sia-sia belaka. Agar semakin jelas memaknai dan menemukan
tanda-tanda semiotic pada puisi ini, penulis akan menampilkan puisinya.
Puisi “Wanita-wanitaku”
Gerimis menampar mukakudan aku berseru padamu
dimanakah kamu wanitaku?
Kamu menghilang di
belakang
hotel
di dalam kabut kuburu kamu
kamu lari ke dalam bis kota
dan lenyaplah kamu untuk selama-
lamanya
hotel
di dalam kabut kuburu kamu
kamu lari ke dalam bis kota
dan lenyaplah kamu untuk selama-
lamanya
Aku bernyanyi dikamar mandi
dan tiba-tiba tubuhmu yang
telanjang terbayang lagi
apakah kamu mengerti
kesepianku?
dan tiba-tiba tubuhmu yang
telanjang terbayang lagi
apakah kamu mengerti
kesepianku?
Sukmaku mengembara kedalam
rumah,diantara buku buku gambar-
gambar telanjang
meja makan yang berantakan
ranjang yang berbau mimipi
aku menagis
hubungan kita sia-sia
rumah,diantara buku buku gambar-
gambar telanjang
meja makan yang berantakan
ranjang yang berbau mimipi
aku menagis
hubungan kita sia-sia
Sukmaku menjelma menjadi
seekor kucing tua
yang lalu mengembara luput ke
dalam perkampungan
seekor kucing tua
yang lalu mengembara luput ke
dalam perkampungan
Sudah sekian lama
sudah berbulan bulan
sudah bertahun tahun
sudah berabad abad
melewati kepulan debu
melewati angin panas
melewati serdadu dan algojo
melewati anjing anjing
aku memburu
memburu
memburu
berburu
berburu diatas harley davidson
mencari sukmaku sukmamu
yang telah lenyap bersama
sudah berbulan bulan
sudah bertahun tahun
sudah berabad abad
melewati kepulan debu
melewati angin panas
melewati serdadu dan algojo
melewati anjing anjing
aku memburu
memburu
memburu
berburu
berburu diatas harley davidson
mencari sukmaku sukmamu
yang telah lenyap bersama
(W.S Rendra)
Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan ekspresi yang
terdapat pada puisi, menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 2002;282) disebabkan
oleh tiga hal : (1) penggantian arti, (2) penyimpangan arti, (3) penciptaan
arti.
Penggantian Arti
Ekpresivitas penggantian arti dalam
puisi ini terdapat dalam bait pertama, ditemukan kata “gerimis menampar mukaku”
adalah personifikasi. Rasa sakit yang dirasakan oleh si lelaki karena ditinggal
pergi oleh si wanita digambarkan oleh si penyair dengan kata “gerimis menampar
mukaku” penyair menampilkan bahwa sakit yang diderita si lelaki sama ketika
butiran gerimis mulai jatuh menimpa wajahnya.
Dalam sajak ini ada koherensi antara
pilihan kata-katanya dan kiasan, yang semuanya itu memberikan dan memperkuat
suasana keindahan si lelaki dengan perginya wanita yang digambarkannya itu.
Penyimpangan Arti
1. Ambiguitas
Ambiguitas
atau makna ganda yang terdapat dalam sebuah puisi ini akan diuraikan sebagai
berikut: dalam bait pertama pada kata-kata “gerimis menampar mukaku” itu
ambigu, karena dapat dimaknakan bhawa pada saat itu keadaan yang menimpa si
lelaki benar-benar sakit itu digambarkan seolah gerimis yang jatuh dari langit
seolah dan menimpa wajah si lelaki ini seolah seperti sedang menampar muka si
lelaki, atau makna lainnya adalah ketika kesakitan kehilangan yang dirasakan
oleh si lelaki itu, keadaan sedang gerimis, hingga gerimis itu membasahi muka
atau wajah si lelaki.
2. Kontradiksi
Seringkali puisi itu
menyatakan sesuatau secara kebalikannya. Hal ini untuk membuat pembaca berpikir
hingga pikiran pembaca terpusat pada apa yang dikatakan atau yang menjadi soal
pada puisi yang dibahas. Untuk menyatakan arti makna kebalikan itu dipergunakan
gaya ucap paradoks dan ironi.
Paradoks adalah gaya bahasa yang
menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan dalam wujud bentuknya. Akan tetapi ,
bila dipikirkan sungguh-sunggu hal itu wajar-wajar saja, tidak bertentangan.
Paradoks pada puisi ini ditunjukkan pada bait:
Aku bernyanyi di kamar mandi
Dan tiba-tiba tubuhmu yang
Telanjang terbayang lagi
…..
Kata “telanjang” dana “kamar mandi” terjadi
keterkaitan, memang pada umumnya ketika seseorang sedang mandi pasri dalam
keadaan telanjang. Kata ini pada kenyataannya bila dipikirkan hal itu tidak
bertentangan.
Ironi adalah gaya bahasa untuk menyetakan sesuatu
secara berbalikan. Gaya bahasa ini biasanya untuk menyindir atau mengejak. Gaya
ironi dapat berupa frase, klausa, kalimat, wacana, atau seluruh sajak.. Dalam
puisi ini tidsk ditemukan gaya icap ironi.
3.
Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara
linguistik tidak mempunyai arti. “Kata-kata” itu ciptaan penyair, tidak ada
dalam kamus bahasa. Dalam puisi ini tidak terdapat kata-kata yang tidak dapat
dimengerti, semua kata-kata yang digunakan masih bisa dimengerti dan ada di
dalam kamus bahasa.
Penciptaan Arti
Diantara
penciptaan arti sarana-sarana pencipta arti atau makna itu adalah sajak (rima),
enjambemen (peloncakatan kata), homologue, dan tipografi.
Pada puisi ini pengarang lebih menekankan pada segi
tipografi yang disusun secara lurus, tetapi ada jeda pada setiap baitnya yang
tuajuannya setiap pergantian bait maka maknanya pun akan berbeda dari bait
sebelumnya, tidak melepaskan diri dari makna yang sudah ada. Puisi ini terdiri
dari empat bait yang mengisahkan tentang seseorang yang mengalami sebuah
kejadian ditemui oleh Tuhan tapi orang ini tidak sadar akan kejadian itu.
Persajakan atau rima
itu secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna intensitas
dalam puisi.
Pembacaan Heruistik
Dalam
puisi ini dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan
kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Proses pembacaan
heuristik puisi ini sebagai berikut.
Gerimis
(seolah) menampar mukaku, dan aku berseru padamu, dimanakah kamu (wahai)
wanitaku?
Kamu
(sedang) menghilang di belakang (sebuah tempat) (yaitu) hotel, (dan) di dalam
kabut (pun) (akan) kuburu kamu, kamu lari (masuk) ke dalam bis kota, dan
(setelah itu) lenyaplah kamu untuk selama-lamanya.
(ketika)
aku (sedang) bernyayi di kamar mandi, dan tiba-tiba (gambaran) tubuhmu yang
(sedang) telanjang terbayang lagi (dalam) (benakku), apakah kamu mengerti
(dengan) kesepianku (disini)?
Sukmaku
(mencoba) mengembara ke dalam rumah (yang) (di) (dalamnya) (terdapat) diantara
buku-buku (dan) gambar-gambar (dirimu) (yang) telanjang (keadaan) meja makan
yang berantakan, ranjang yang berbau mimpi (sisa) (tidur) (semalam), aku
menangis (terisak), (ternyata) hubungan kita (hanya) sia-sia (belaka).
Sukmaku
(seolah) menjelma menjadi seekor kucing tua, yang lalu (pergi) mengembara luput
ke dalam (sebuah) perkampung.
Sudah
sekian lama, (dan) sudah berbulan-bulan (lamanya), (lalu) bertahun-tahun,
(kemudian) berabad-abad, (aku) melewati kepulan debu, (aku) melewati angin
panas, (lalu) melewati serdadu dan algojo, (aku) (melewati) anjing-anjing, aku
memburu (mencarimu), (terus) memburu, (terus) memburu, (dan) berburu, berburu
di atas (motor) Harley Davidson, mencari sukmaku, sukmamu (sukma kita), yang (ternyata)
telah lenyap bersama.
Pembacaan heuristik ini baru
memperjelas arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Makna sastra
belum tertangkap. Oleh karena itu harus dibaca lebih lanjut.
Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari
awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna
berdasarkan konvensi sastra terutama pada karya sastra puisi.
Bait
pertama
Makna
yang terkandung dalam bait pertama pada puisi “Wanita-wanitaku” ini,
menggambarkan perasaan seorang lelaki yang keadaannya pada saat itu sedang
dilanda kegalauan dan kegelisahan mencari seseorang perempuan yang sangat
dicintainya, maka dari itu gambaran perasaan
sedih si penulis diungkapkan dengan kata-kata “gerimis menampar mukaku”.
Menunjukkan bahwa hatinya kini sedang dilanda kesakitan, pencarian wanita yang
sangat didambakannya itu digambarkan denga kata-kata “dimanakah kamu wanitaku”.
Bait kedua
Diungkapkan
dalam bait kedua pada puisi “Wanita-wanitaku” ini, bahwa wanita yang sedang
dicarinya menghilang pada sebuah tempat di belakang hotel. Hotel dalam puisi
ini dimaknakan sebagai tempat persinggahan sementara. Si penulis dalam puisi ini
berperan sebagai laki-laki yang sedang mengejar si wanita tadi, tapi malang
wanita itu masuk ke dalam bis kota dan pergi meninggalkan si lelaki yang
mengejarnya di belakang. Maka sejak saat itulah, wanita yang dicintainya itu
pergi untuk selama-lamanta meninggalkan si lelaki.
Bait ketiga
Pada
bait ini menceritakan ketika si lelaki ini sedang mandi, maka terbayanglah
tubuh si wanita ini dalam keadaan telanjang seperti keadaan si lelaki yang
sedang mandi dan tentunya telanjang. Si lelaki seolah berkata pada bayangan
wanita yang telanjang tadi, berkata tidakkah wanita itu menyadari dan
merasakan, mengerti akan kesepian yang dirasakan oleh si lelaki tanpa
kehadirannya.
Bait keempat
Pada
bait keempat ini penulis mencoba masuk ke dalam kenangan yang pernah dilewati
lelaki dan si wanita ini ketika dulu masih
bersama.sukma si lelaki seolah mengembara mencari sosok wanita itu, di dalam
sukma itu dia berada dalam sebuah rumah yang di dalamnya banyak buku dan
gambar-gambar yang berserakan, keadaan meja makan yang berantakan, ranjang yang
masih jelas rasa bau wangi mimpi sisa antara si lelaki dan wanita itu ketika
tidur bersama. Laki-laki ini menangis meratapi kesedihannya, meratapi hubungan
yang dijalaninya dengan wanita itu ternyata harus berakhir sia-sia.
Bait
kelima
Dalam
bait ini penulis menampilkan si lelaki semakin meratapi dan terpuruk dlam
kesedihannya dalam kesendirian seorang diri, laki-laki ini seakan menjelmakan
dirinya menjadi seekor kucing tua, kemudian pergi mengembara melewati sebuah
perkampungan mencari wanita itu. Perkampungan yang dimaksud dalam puisi ini
adalah tempat yang ramai tapi si lelaki tetap merasakan kesepian karena yang
dicarinya tak ditemuinya di sana.
Bait keenam
Pada
bait terakhir, tampaklah bagaimana perjuangan pencarian yang dilakukan si
lelaki ini untuk menemukan wanita pujaannya, sekian lama menanti wanita itu
dengan harapan si wanita itu akan kembali lagi padanya. Dari satu masa kmasa
lainnya dan tanpa kenal waktu si lelaki terus memburu si si wanita untuk satu
tujuan yanitu berharap untuk menemukan wanita yang didambakannya. Dengan
mengendari motor Harley Davidson si lelaki terus mencari, mencari sukma si
wanita untuk melengkapi sukma sukma si lelaki yang lambat laun mulai keropos
karena dimakan waktu untuk mencari. Tapi harapan hanyalah sebuah harapan kosong
tanpa ada balasan. Akhirnya si lelaki menyadari bahwa apa yang selama ini dia
cari telah hilang, bahkan sukma yang keropos itu telah lenyap hilang bersama
harapannya.
4.1.3
Matrix
atau Kata Kunci
Untuk membuka
sebuah puisi supaya dapat dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari
matrix atau kata kuncinya. Kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran
sajak yang dikonkretisasikan.
Dalam puisi “Wanita-wanitaku”
kata kuncinya adalah kata “Aku” iti sendiri. Kata “Aku” berhubungan dengan kata
lainnya dan menjadi pusatnya. Dalam puisi ini semua berkaitan dengan keadaan si
“Aku”. Si aku yang merupakan pokok masalah, si aku yang merasa kehilang
seseorang yang sangat dicintainya.. Aku merasakan bahwa hatinya telah lemah,
hatinya seolah mati, tidak ada lagi yang dapat menyinari hati si aku ketika
menyadari wanita yang sangat dicintainya itu pergi dari kehidupannya
Semua itu adalah
masalah yang terdapat dalam puisi “Wanita-wanitaku”. Puisi ini mengandung pesan
dan mengajarkan sebagia salah satu bukti bahwa jangan pernah lelah untuk
mengejar cinta yang memang benar-benar kita cintai, sampai kita mengetahui
bahwa orang kita harapkan ternyata tidak mengharapkan kita.
4.2
Analisis Semiotik Puisi “Wanita
Cantik Sekali di Multazam” Karya Mustafa Bisri
Puisi
“Wanita Cantik Sekali Di Multazam”
Di
tengah-tengah himpitan daging-daging doa
di pelataran rumahmu yang agung
aku mengalirkan diri dan ratapku
hingga terantuk pada dinding mustajab-Mu
menumpahkan luap pinta di dadaku
di pelataran rumahmu yang agung
aku mengalirkan diri dan ratapku
hingga terantuk pada dinding mustajab-Mu
menumpahkan luap pinta di dadaku
Ku baca segala yang bisa ku baca
dalam berbagai bahasa runduk hamba dari tahlil ke tasbih,
dari tasbih ke tahmid, dari tahmid ke takbir,
dari takbir ke istighfar, dari istighfar ke syukur,
dari syukur ke khauf, dari khauf ke raja, dari raja ke khauf
raja khauf
khauf raja
raja khauf
khauf raja
sampai tawakkal
Tiba-tiba sebelum benar-benar fana melela dari arah Multazam
seorang wanita cantik sekali
masya Allah tabarakAllah !
Allah, apa amalku jikak kurnia
apa dosaku jika coba ?
Allah, putih kulitnya dalam putih kerudungnya
Indah sekali alisnya
Indah sekali matanya
Indah sekali hidungnya
Indah sekali bibirnya
Dalam indah wajahMu
Allahku, ku nikmati keindahan dalam keindahan
Di atas keindahan di bawah keindahan
Di kanan-kiri keindahan
Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, inilah kerapuhanku ! tak kutanyakan kenapa
Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku ?—ampunilah aku—tanyalah jua yang ku punya kini :
Allahku mukallafkah aku dalam keindahanMu ?
(Mustafa Bisri)
Ketidaklangsungan Ekpresi
Ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat pada puisi, menurut
Riffaterre (dalam Pradopo, 2002;282) disebabkan oleh tiga hal : (1) penggantian
arti, (2) penyimpangan arti, (3) penciptaan arti.
4.2.1
Penggantian
Arti
Dalam penggantian arti
ini suatu kata atau kiasan merupakan arti alin dan bukan menurut arti
sesungguhnya. Pada puisi ini terdapat bebarapa kiasan.
Dalam bait pertama
dalam puisi “Wanita Cantik Sekali di Multazam”, terdapat kalimat yang bermakna
ambigu yaitu “di tengah himpitan daging-daging doa”, kata “daging-daging doa”
adalah kiasan atau metafora, karena kata “daging-daging doa” bisa juga
diartikan lantunan doa atau butiran doa yang dipanjatkan, tetapi di sini
penyair ingin menyampaikan bahwa si lelaki sedang berdoa melantunkan doa sengan
isi doa. Dengan kata-kata “daging-daging doa” dapat diartikan pula bahwa yang
melakukan doa ini dengan dengan sungguh-sungguh.
Penyimpangan Arti
Ambiguitas
Makna
ganda atau ambigutas yang terdapat dalam puisi “Wanita Cantik Sekali di
Multazam” ini ditemukan pada kata-kata “Allahku, kunikmati keindahan dalam
keindahan” itu ambigu. Tokoh si “aku” yaitu si lelaki ini melihat keindahan
dalam keindahan maksudnya adalah wanita yang dlihatnya sangat cantik, sehingga
itu dilukisikan dengan kata keindahan. Lata keindahan yang kedua atau makna
ambigu dari kata keindahan dimaknakan sebagai Tuhan, karena Tuhan itu sempurna
dan sempurna adalah sesuatu yang identik dengan keindahan.
Kontradiksi
Dalam puisi modern
banyak terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara
berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang
keterlaluan. Ironi menarik perhatian dengan caranya membuat pembaca berpikir.
Sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan
terhadap sesuatu yang menyedihkan.
Dalam puisi yang
berjudul “Wanita Cantik Sekali di Multazam” karya Mustafa Bisri ini tidak
ditemukan kontradiksi, atau kata-kata yang menyinggung tentang mengejek
sesuatu, tidak ditemukan pula kata-kata yang bertentangan atau berlawanan dalam
bentuk wujudnya.
Nonsense
Nonsense
Nonsense adalah
kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. “Kata-kata” itu ciptaan
penyair, tidak ada dalam kamus bahasa. Misalnya, kata-kata dalam mantra
seringkali berupa nonsense, dapat mempengaruhi dunia gaib. Dalam puisi ini
tidak terdapat kata-kata yang tidak dapat dimengerti, semua kata-kata yang
digunakan masih bisa dimengerti dan ada di dalam kamus bahasa.
4.2.3
Penciptaan
Arti
Riffaterre (dalam Pradopo, 2002;220)
menjelaskan terjadinya penciptaan arti
bila ruang teks atau spasi teks berlaku sebagai pengorganisasian untuk
membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara
linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjambemen,
atau ekuivalensi-ekuilansi makna (semantik) diantara persamaan posisi dalam
bait atau homologues.
Homologues atau persamaan
posisi itu misalnya tampak dalam sajak pantu atau semacamnya. Semua tanda di
luar kebahasaan itu mempunyai arti kebahasaan. Homologues dalam puisi ini
terdapat dalam bait:
Dalam indah wajahMu
Allahku, ku nikmati keindahan dalam keindahan
Di atas keindahan di bawah keindahan
Di kanan-kiri keindahan
Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, ku nikmati keindahan dalam keindahan
Di atas keindahan di bawah keindahan
Di kanan-kiri keindahan
Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Dalam bait
sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan persejajaran arti: bahwa
bagaimanapun wanita itu, dilihat dari sudut pandan manapun yang ada hanya
keindahanlah yang tampak.
Pembacaan
Heuristik
Dalam pembacaan ini
karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem
tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilaman perlu
susanan kalimat dibalik seperti susunan bahas normatif, diberitambahan kata
sambung (dalam kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologisnya
yang normatif. Pembacaan heuristik pada puisi “Wanita Cantik Sekali di Multazam”
ini adalah sebagai berikut.
(diriku) (sedang) (berada) di tengah-tengah himpitan (yang) (berupa)
daging-daging doa, (dan) di pelataran rumahMu yang agung, akku (bersujud)
mengalirkan diri dan ratapku (pada-Mu), hingga (aku) terantuk pada dinding
mustajab-Mu, menumpahkan (segala) luap (dan) pinta (yang) (bertahan) (di)
(dadaku).
Ku baca segala (apapun) yang bisa kubaca, dalam bebagai bahasa (dan) runduk
hama, (dan) dari tahlil ke tasbih, (dan) dari tasbih ke tahmid, (lalu) dari
tahmid ke takbir, dari takbir ke istighfar, (kemudian) dari istighfar ke
syukur, dari syukur ke khauf, (terakhir) dari raja ke khauf, dar raja (kembali)
(lagi) ke khauf, raja khauf, khauf raja, sampai (akau) (bisa) tawakkal.
Tiba-tiba sebelum (aku) benar-benar fana (diri) melela dari arah Multazam,
(datang_ seorang wanita (yang) cantik sekali, masya Allah, tabara Allah! Allah,
apa amalku jikak kurnia, apa dosaku jika (ada) (keinginan) coba?
Allah, putih kulitnya (tersembunyi) di dalam putih kerudungnya, indah
sekali alisnya, indah seklai matanya, indah sekali hidungnya, indah sekali
bibirnya, (yang) (kesemuanya) (itu) (tergambar) (dari) dalam wajahMu.
Allah, (akan) kunikmati keindahan dalam keindahan (yang) (Kau) (ciptakan),
(semua) (itu) (sempurna), di atas keindahan (dan) di bawah keindahan, (juga)
(di) (sebelah) kanan-kiri keindahan, (dan) di tengah-tengah keindahan yang
(juga) indah sekali (dipandang).
Allahku, (maka) inilah kerapuhan! (tapi) tak kutanyakan kenapa, engkau
(yang) bertanya bukan (yang) bertanya kenapa, tapi apa(lah) jawabku? (maka)
-ampunilah aku- (dan) tanyalah jua yang (sedang) kupunya saat ini, Allah
(apakah) mukhallafkah aku dalam keindahanMu?.
4.3.2
Pembacaan
Hermeneutik
Pembacaan
heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra
terutama puisi itu belum tertangkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus
diulangi lagi dengan pembacaan retroaktif dan diberi tafsiran atau dibaca
secara hermeneutik sesuai dengan konvensi sastra sebagai sistem semiotik
tingkat kedua, sebagai berikut.
Bait
pertama
Diceritakan dalam puisi ini si “aku”
menjadi peran si lelaki yang sedang berada dalam kekhusyu’an doanya pada Tuhan
(Allah), berada di pelataran rumah Tuhan yaitu masjid uang dimulyakan. Bersujud
memaohon doa dan menumpahkan segala yang menjadi ratapannya, mengaduhkan
tentang segala apa yang dirasakannya, mengungkapkan segala apa yang menjadi
pintanya yang tertanam hingga terasa sesak di dalam dadanya.
Bait
kedua
Si aku atau lelaki ini mencoba
membaca apa saja yang dapat dia baca dalam pengaduannya kepada Tuhan, dari
berbagai bahasa yang dia bisa. Bisa saja dia membaca alqur’an atau membaca
terjemahannya, membaca tasbih, tahmid atau segala macam wiridan yang saling
bergantian dia baca, dari bacaan tahlil, dari tahlil ke tasbih, kemudian
beralih pada bacaan takbir, dari takbir diteruskan ke istighfar, syukur khauf,
memuji Tuhan atau Raja (Allah) hingga sampai berada pada titik paling akhir
yaitu tawakkal, pasrah setelah permintaan usaha dan doa yang telah
dilakukannya.
Bait
ketiga
Pada bait ini penyair memunculkan
sosok baru yang menjadi topik yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh si penyair
dari awal, yaitu sosok wanita yang digambarkan sangat cantik, shingga si aku
laki-laki ini menyebut nama Tuhan ketika melihatnya. Keinginan untuk mendekati
si gadis ini terhalang karena teringat rasa takutnya akan Tuhannya, takut akan
doa yang diterimanya dari Tuhan.
Bait
keempat
Di dalam ketakutan dan keinginan
untuk mengetahui gadis itu lebih mendalam lagi, tiada berhentinya si lelaki ini
memuji kecantikan dan pesona wanita yang dilihatnya. Dalam kekaguman yang
memuji kecantikan dan pesona wanitanya, dalam kekaguman yang diciptakan Sang
Tuha, kemudian kulitanya, alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, seolah melihat
bahwa gadis ini adalah makhluk paling sempurna yang pernah dilihatnya dan yang
pernah Tuhan ciptakan.
Bait
kelima
Keindahan semakin mendominasi pada bait
ini, keindahan yang dilebih-lebihkan. Penyair menggambarkan si wanita itu
seolah tak mempunyai cacat sedikitpun, sangat sempurna, sangat cantik rupawan,
sehingga yang tepancar dari segala sudut pandang manapun hanyalah kecantikan
dan keindahan yang sedap dipandang mata. Si aku menikmati keindahan yang Tuhan
anugerahkan pada si wanita, dipandangnya adri setiap sudut, dari atas dan
bawah, dari kanan ke kiri, dan dari tengah-tengahpun yang tampak hanya
keindahan yang nyaris tanpa cacat ataupun cela. Sungguh keindahan yang sangat
luar biasa.
Bait
keenam
Si penyair menyampaikan si lelaki
pada bait terakhir ini seolah mengadu pada Tuhannya, mengadu tentang kegundahan
yang berkecamuk dalam hatinya, antara perasaan bersalahkah dia menyukai makhluk
lawan jenisnya? Bukankah itu perasaan yang manusiawi? Pertanyaan semacam itulah
yang dilontarkan, dia tanyakan pada Tuhannya. Sedang dia tau bagaimana Tuhan
sudah mengatur batasan-batasan kekaguman pada tiap lawan jenisnya mengenai rasa
suka. Pertanyaan yang sebenarnya penyair
sendiri sudah tahu pasti jawabannya, tetapi penyair ingin menimbulakn
pertanyaan kepada setiap pembaca pada akhir syairnnya. Supaya pembaca dapat
mejawab sendiri dengan jawaban yang berbeda pada tiap-tiap pembacanya.
4.3.3
Matrix
atau Kata Kunci
Untuk membuka
sebuah puisi supaya dapat dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari
matrix atau kata kuncinya. Kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran
sajak yang dikonkretisasikan.
Dalam puisi “Wanita Cantik Sekali di Multazam”
kata kuncinya adalah kata “Aku” itu sendiri.
Kata “Aku” berhubungan dengan kata lainnya dan menjadi pusatnya. Dalam puisi
ini semua berkaitan dengan keadaan si “Aku”. Si aku yang merupakan pokok
masalah, si aku yang ketuka sedang
berdaoa kemudian dikejutkan dengan kedatang seorang wanita yang cantik rupawan
seolah mengetes iman si aku.
Semua itu adalah
masalah yang terdapat dalam puisi “Wanita
Cantik Sekali di Multazam”.
Kunjungi Juga
0 Response to "Teori Semiotika dan Penerapannya"
Posting Komentar